Uniknya Suku Laut di kepulauan Riau



Suku (Orang) Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Beberapa sejarah mencatat bahwa suku Laut ini terbentuk dari lima periode kekuasaan. yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—42), Jepang (1942—45), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003:25). Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.

Suku Laut berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut. 
Keberadaan suku Laut dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran Islam yang menyebar lewat lautan dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang dianut oleh suku Laut sendiri masih keprecayaan Animisme, meskipun sebagian yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.

Sulit untuk “mengadabkan” orang-orang suku Laut, orang-orang suku Laut memandang bahwa daratan adalah tempat yang tak masuk akal bagi mereka. Mereka menganggap daratan hanyalah tempat untuk menguburkan jenazah mereka, sehingga daratan bagi mereka adalah kotor. Melihat fenomena terseut pemerintah saat itu mencari akal agar masyarakat suku Laut pun mau berinteraksi dengan daratan. Disebarnyalah beberapa orang untuk menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku Laut, menjelaskan bahwa tinggal di Laut sekalipun belum tentu bersih dan malah mudah terkena najis, sehingga tidak bisa menjalankan ibadah solat. Selain tiu dalam himbauannya juga orang-orang suku Laut akan diberi bantuan oleh pemerintah berupa KTP, fasilitas rumah, pendidikan, perahu bermotor, dan lain sebagainya.

Suku laut yang kita lihat berada pada wilayah pesisir Kepulauan Riau, bersinggungan dengan daerah Melayu, membuat suku Laut sendiri dipengaruhi kuat oleh bahasa Melayu. Bahkan suku Laut sendiri lebih fasih menggunakan bahasa Melayu mereka dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini juga disebabkan oleh interaksi masyarakat suku Laut yang lebih sering bersua dengan orang-orang Melayu. Hidup berpindah-pindah juga menjadi salah satu faktor penggunaan bahasa Indonesia yang tidak lancer.

Orang-orang suku Laut menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya. Namun, hal ini ditentang oleh orang Melayu pada umumnya (yang tinggal di darat). Orang Melayu sendiri membuat beberapa catatan apa saja yang harus dilakukan oleh orang Melayu, maka tersebutlah beberapa syarat, seperti: sunat (bagi laki-laki), tidak memakan babi dan menenggak minuman beralkohol, menaati tata-cara Islam dalam pemakaman, mengucap dua kalimat syahadat, kawin-cerai secara Islam, bersembayang lima waktu sehari secara Islam, membangun masjid di lingkungan kampung/desa, solat pada dua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), solat Jumat, menjalani puasa di bulan Ramadan, memberi zakat, dan bila mampu melaksanakan ibadah haji (Chou, 2003:28). Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut tidak diyakini dan dijalani, maka mereka bukanlah benar-benar orang Melayu.


Berdasarkan penolakan tersebut suku Laut pada akhirnya berada pada bagian paling luar dari keturunan asli Melayu. Merasa diri sebagai orang Melayu, suku Laut mengusung pola patrilineal atau garis keturunan ayah sebagai pola kekerabatan. Mereka hidup di lautan, mereka lahir, kawin, dan mati di laut

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat suku Laut adalah nelayan. Hampir semua orang di suku Laut melakukan aktivitas yang berkaitan dengan laut, baik nelayan, memancing, dan lainnya. Bahkan kebiasaan warga suku Laut pada malam hari adalah memancing.Warga suku Laut mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana(getek) dan tombak. Jika mereka tidak mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut(sekadarnya).

Suku Laut adalah suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan adalah apa yang mereka pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-mesin canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang digunakan dalam menangkap ikan. Saat pemerintah mencoba memasukan pendidikan pada anak suku Laut, ini menjadi kerja keras para pengajar. Pasalnya sopan santun yang terbentuk di suku Laut menjadi hal yang pertama kali mesti dibenhi, baru kemudian berhitung dan lainnya.

Walau bagaimana pun juga, suku Laut menjadi satu dari keberagaman suku di Indonesia. Dengan segala keunikan yang dimilikinya, suku Laut memberikan pembelajaran tersendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.

Suku sakai di Riau

Suku Sakai hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa. Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.

Budaya Melangun di suku Kubu





Melangun merupakan suatu bentuk sistem sosial budaya masyarakat Suku Anak Dalam (Kubu) . Istilah Melangun hanya dikenal pada budaya Suku Anak Dalam dan tidak dikenal pada masyarakat lainnya di Provinsi Jambi. Secara umum melangun mengatur dan berlaku untuk anggota kelompok bila mendapat musibah kematian salah satu anggota kelompoknya.
Maka sejak jenazah diantar (diletakkan di hutan yang jauh dari permukiman) seluruh keluarga dan kerabat seladang harus pergi meninggalkan tempat itu dengan membawa semua peralatan, mengembara di hutan dan berpindah tempat sampai rasa sedih ditinggal mati anggota keluarga itu sembuh. Inilah hakikat hidup mengembara di dalam hutan.

Kata melangun berasal dari bahasa Melayu, yang hanya dijumpai dalam bahasa percakapan Suku Anak Dalam di Jambi. Kata melangun dapat dilihat dari 2 pengertian, yakni dalam arti terbatas (sempit) dan dalam arti luas (umum). Dalam arti terbatas, kata melangun berarti hidup mengembara (nomad) di dalam hutan. Faktor pertama penyebab mereka melakukan pengembaraan di dalam hutan karena adanya kepercayaan bahwa kematian itu disebabkan oleh gangguan roh jahat dan roh jahat itu harus dijauhi karena dapat mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup. Faktor kedua ialah lokasi di mana kematian itu terjadi dipandang sebagai tempat sial atau tempat celaka. Oleh karenanya maka manusia yang masih hidup perlu menjauhi tempat celaka itu secepat mungkin.

Dalam arti luas menurut Fachruddin Saudagar (1995), kata melangun mengandung banyak makna antara lain adalah sebagai berikut.

1) Melangun adalah perwujudan rasa cinta (sayang) sayang terhadap si mati.

a)Semakin cinta dan sayang terhadap si mati maka rasa sedih (ibo-hati) semakin tinggi, sehingga semakin lama pula rasa menderita.

b) Semakin cinta kepada seseorang maka kegiatan melangun semakin lama.

c) Semakin lama waktu melangun maka semakin jauh jarak wilayah (jelajah) melangun.


2) Melangun adalah upaya mengatasi rasa menderita (penderitaan) karena ditinggal mati anggota keluarga.
Keluarga si mati selama kegiatan melangun akan menangis (mekhatop/beratap).

3) Melangun sebagai wujud penghormatan terhadap roh si mati.

4) Melangun sebagai wujud kesetiakawanan sosial.

5) Melangun sebagai satu sistem nilai budaya (Kultural value system).

6) Melangun sebagai perlambang prosesi perjalanan roh si mati.





Mengenal lebih dekat suku Kubu








Suku kubu merupakan suku terpencil di sumatera selatan. kehidupan suku kubu itu secara nomaden yang mendasarkan kehidupannya dengan berburu hewan dan meramu hasil hutan di sekelilingnya,walaupun banyak dari mereka yang sekarang telah memiliki lahan karet dan pertaniaan sendiri.


Kehidupan mereka sangat mengenaskan dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di jambi dan sumatera selatan,dan proses proses marginalisasi yang di lakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (orang melayu)yang ada di jambi dan sumatera selatan


suku kubu memiliki beberapa kebudayaan atau tradisi yang unik, yaitu:


1. Besale
besale adalah tradisi duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.


Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.


2. Budaya Melangun

budaya melagun adalah budaya asli suku kubu untuk menghilangkan kesedihan mereka. apabila ada anggota keluarga suku kubu yang meninggal, maka biasanya mereka akan pergi meninggalkan rumah karena rumah tersebut dianggap membawa sial selain itu juga untuk melupakan kenangan buruk. biasanya anggota suku kubu yang berduka akan pergi selama bertahun-tahun. berjalan-jalan membuat mereka melupakan kesedihan. namun sekarang budaya melagun dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu jauh. apalagi sekarang suku kubu sedang melindungi lahan mereka dari penggeksploitasian hutan.


itulah budaya budaya unik dari suku kubu. suku kubu biasanya menyingkir ke hutan dan hidup bersama. setiap budaya yang ada harus dijaga kelestariannya.






Suku Kubu di Jambi


Suku kubu adalah manusia yang hidup berkomunal dihutan hutan wilayah Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Musirawas dan Musi Rawas Utara dan tersebar di 9 lokasi. Dengan kehidupan yang sudah ratusan tahun keberadanya sebagai manusia rimba dengan keunikan tradisi maupun pola hidupnya. Suku Kubu termasuk dalam proto melayu, kearifan lokal orang kubu dan hidupnya yang harmonis dengan lingkungan hutan dan alam sehingga mampu survive hidup ratusan tahun.
Dulunya dengan kepercayaan animisme,kepercayaan adanya puyang dan moneng namun saat ini sudah mengenal agama,terutama Islam dan sejak th 1936 ketika Pendeta Robert masuk ke Musirawas saat itu Belanda membangun Irigasi Watervang,Pendeta Robet ketemu suku Kubu di desa Q wonokerto dan menyebarkan Kristen Protestan di komunitas Kubu hingga ke jambi.Dengan itu di beberapa lokasi daerah suku Kubu ada yang beragama Kristen Protestan.Sebagian besar Suku Anak Dalam atau Orang Kubu kehidupan sehari harinya masih akrab dengan sungai juga berburu binatang di hutan, ketergantungan dengan alam masih menjadi pola hidupnya.
Seiring perkembangan jaman dengan kebijakan pemerintah melakukan program Relokasi, menarik komunitas Kubu dari dalam hutan, dengan dibuatkan rumah panggung Kayu dan ditempatkan disatu lokasi dekat dengan desa sekitar. Kondisi ini menyebabkan terjadi gegar budaya, dimana perobahan pola hidup, yg mau tak mau menyesuaikan dengan masyarakat sekitar desa. Dengan nilai nilai baru bahkan pola hidup konsumtif merambah kehidupan sehari harinya , adanya Tv , Sepeda motor bahkan Mobil barang kebutuhan hidup yang sudah dimilikinya .Namun sebagian besar orang kubu hidupnya masih berburu binatang kedalam hutan.
Sementara Hutan mengalami dekradasi secara terus menerus dengan adanya kebijakan Pemerintah tentang exploitasi hutan juga exploitasi sumber daya Alam,maka hutan sebagi habitat hidupnya berkurang secara terus menerusdan Kubu sebagai manusia rimba yang ratusan tahun hidup didalamnya kehilangan existensinya. Hutan yg berubah menjadi lahan lahan perkebunan besar Sawit, juga exploitasi SDA berupah tambang dari perusahan trans nasional.
Kondisi ini dimana kubu manusia rimba sebagi pemilik rimbah dengan relokasi maka kehilangan legitimasinya dan tercerabut budayanya bahkan perubahan budaya secara radikal, dari pola hidupnya sebagi manusia rimba yang menggantungkan hidup dengan Alam Hutan selama ini, bahkan ada sebagian Suku Kubu semakin masuk Kewilayah hutan lindung TNKS yang disebut dengan Hutan Tuo.
Suku Kubu ditemukan diperkirakan pada th 1700 dimasa Kerajaan Palembang, ketika Kerajaan dipimpin oleh Ratu Sinuhun,didalam buku sejarah Ratu Sinuhun dituliskan bahwa; ditemukan oleh peneliti dari Belanda Van Dongen, dan peneliti Van Dongen menuliskan; ketika berkunjung di komunitas suku kubu di area Sei Lalan, lokasi Sei Bahar Musi Banyuasin di Sumsel, menemukan dokument berupah Piagam terbuat dari lempeng tembaga.
Piagam tembaga itu diberikan kepada Suku Suku diperbatasan Sumsel pada waktu itu, terutama suku suku terletak di daerah Sindang Merdeka yaitu; disebut daerah Sindang Merdeka, yang dianggap daerah yang Merdika dan tidak membayar pajak kepada Kerajaan Palembang,tapi masih masuk dalam teritorial kerajaan Kesultanan Palembang .
Temuan peneliti Belanda Van Dongen, yang menyatakan suku suku diperbatasan sebagai penjaga keamanan di perbatasan, secara politik suku suku diperbatasan termasuk dalam cakupan dan kekuasaan wilayah Kerajaan Palembang, maka dalam kontek ini menurut Cerita orang Suku Anak Dalam atau Suku Kubu yang menyebutkan ada hubungan dengan Kerajaan Palembang menjadi masuk akal, tapi tidak dalam kaitan hubungan kekerabatan.
Orang Kubu yang pada umumnya pola hidupnya tak mau terikat dengan peraturan yang ada dimasyarakat desa sekitar, dengan pola hidup yang khas dan bahkan selaras dengan alam dan mampu suvival ratusan tahun di hutan di Sumatera Selatan. bahkan ada pameo yang berkembang didesa desa sekitar Sumatera Selatan, jika ada anak yang gak mau mengikuti peraturan dalam keluarga atau yang menyimpang dari kebiasaan masyarakat Desa maka anak itu dimarahi orang Tuanya dengan disebut “Kubu Nga Kak” artinya anak itu tak mematuhi aturan dalam keluarga juga aturan dan kebiasaan masyarakat Desa.
Suku Kubu umumnya tinggal disekitar sungai atau anak sungai, ciri cirinya dulunya berpakian dari kulit kayu Karas {lantung} dengan membawah senjata,panah ,mandau dan Tombak { Kujur }sekarang sering terlihat berpakaian kumal lusuh kadang bersenjata Kecepek senjata api rakitan untuk berburu babi, dan cara jalanya cepat dimana kakinya ketika jalan berjingkat, kedua telapak kakinya menghadap kedalam dan kakinya dengan ciri berbentuk O , ciri lainya berkulit gelap berambut keriting terutama Suku Kubu Bendar Bengkulu juga Kubu di sekitar Rawas , dan ada yang berkulit agak putih berambut lurus dng tubuh besar mata agak sipit yang disebut Suku Kubu Anggang berasal dari dearah di wilayah Sumsel Palembang.
Kedua suku kubu ini dengan adat yang berbeda juga dialek berbeda, namun kalau ketemu antar suku saling mengerti bahasanya.
Saat ini kondisi Kubu di Musirawas sudah banyak berubah terutama sudah banyak yang berpakain layaknya masyarakat Desa bahkan ada beberapa yang bersekolah dan selesai S1 sarjana,bahkan didaerah Q wonokerto ada yang menjadi Bidan, namun sebagian besar masih hidupnya tergantung dengan Alam untuk menunjang eknomi keluarganya dengan berburuh Binatang dagingnya dijual, mencari Biga bubuk putih didalam bambu , Jernang dan Bunga Jernang untuk obat obatan, Madu Sialang yang dijual keluar Desa. Saat ini banyak anak anak usia Sekolah yang tak sekolah juga masih banyak anak anak Kubu yang putus sekolah karena kemiskinan keluarganya.
Itupun anak anak menjelang dewasa membantu orang tuanya berburuh kehutan juga tinggal dikebun kebun, jika musim Buah hunian masyarakat kubu rumah rumah panggung kayu yang dibuat oleh Dinsos Sepi,karena sebagian besar orang kubu masuk kehutan mencari buah buahan,durian,mangga,Rambutan Duku dan buah hutan lainya.
Suku Kubu di Musirawas tersebar di 9 lokasi sekiatr Rawas dan Lakitan sebagian di Tugumulyo desa Q Wonokerto juga disebut daerah Serudungpapan. Diwilayah sekitar Rawas tersebar di daerah Sukaraya ds Pangkalan , Di Sei Tiku Karng jaya ,di Sei Jerneh sekitar Danau Raye Rupit, di Sei Kijang sekitar Sarolangun,di Nibung Ds Tebing tinggi juga disebut Cebur Anjing dan disekitar Pulau Kidak dan Sei Rebah yang berbatasan dengan Surulangun Jambi,
Untuk di wilayah Lakitan diantaranya SeiTeras didesa SP9 Harapan Makmur Lakitan,di Sei Hitam Desa Semangus biasa disebut Panglero,dan Desa Q wonokerto sekitar Tugumulyo. wilayah sebaran Suku Kubu bahkan sampai ke SuruLangun Jambi dan Kubu di jambi masih kerabatan dengan kubu di Musirawas,Menurut cerita Suku anak dalam bahwa Suku Kubu di Jambi adalah keturunan Kubu bernama PagarAlam yang menikah dengan perempuan Jambi berkembang beranak pinak disekitar Sei Rasau daerah Mersam Jambi 

Template Copy by Blogger Templates | BERITA_wongANteng |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES